RIWAYAT HIDUP H. SUDIRMAN SYAIR
H. Sudirman Syair, Amd. Dt. Samulo Nan Balopiah |
PERGOLAKAN PKI
Pada tahun 1964 yaitu ketika saya duduk di kelas 4 SR, umur 12 tahun, terjadilah peralihan sistem pendidikan di sekolah kami, SR berganti nama menjadi SD (Sekolah Dasar), dan saya adalah generasi peralihan dari SR ke SD itu.
Pada masa saya usia 13 tahun, kelas 5 dan kelas 6 SD yaitu tahun 1965-1966, ketika itu terjadi masa-masa tegang suasana pergolakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di sini saya akan menceritakan tentang keganasan orang-orang Komunis di Taeh pada masa itu. Ini agak panjang ceritanya. Mengapa saya mau menceritakan hal ini? Sebabnya adalah peristiwa-peristiwa ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian saya ketika telah dewasa.
Supaya lebih jelas, sebelumnya kita kilas balik dulu ceritanya dari belakang yaitu dari tahun 1960 ketika pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Sebagaimana ditulis oleh Sabar Sitanggang di Republika pada Jum’at, 21 Juli 2017. Tentang Pembubaran Partai Masyumi. “Subuh Rabu tanggal 17 Agustus 1960 pukul 05.20 WIB. Yakni ketika orang tengah bersiap berangkat kerja dan menyeruput kopi pagi seusai shalat Subuh saat itu, Pimpinan Pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet No. 2730/TU/60 yang berbunyi:
“Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami untuk menyampaikan Keputusan Presiden Nomor 200/1960, bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, Pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, Partai Masyumi akan diumumkan sebagai ‘partai terlarang’.”
Bahkan, untuk menguatkannya, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 128 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, partindo, PSII, PARKINDO, IPKI, PERTI, dan MURBA. Sementara MASYUMI dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.
Pembubaran Masyumi dan PSI sudah terendus cukup lama sebelumnya. Tak beda dengan situasi hari ini (tahun 2020), saat itu kondisi politik juga ‘panas’. Masyumi misalnya sangat kritis kepada rezim Sukarno. Mereka mempersoalkan pembentukan APBN, pembubaran konstituante, hingga memprotes tindakan Presiden Sukarno yang dengan gagah berani membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955 dan mengangkat sendiri anggota parlemen penggantinya dengan memberikan nama DPR Gotong Royong (DPRGR).
Di tengah situasi itu, situasi politik juga memanas seiring makin agresifnya agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu partai berlambang palu arit yang diketuai DN Aidit ini juga mengklaim dan berpidato sebagai pengikut paling konsekuen terhadap Pancasila. Sementara Masyumi yang dikatakan Aidit sebagai 'Sarekat Hejo’ terlihat jelas terus disudutkan dengan mengkaitkan pemimpinnya terlibat dalam pemberontakan PRII/Permesta hingga gerombolan serupa DI/TII pimpinan Kartosuwiryo.
Tak cukup menyerang partai berideologi Islam (Masyumi) dan partai berideologi sosialis (PSI), ormas pemuda yakni Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) pada saat itu juga ikut sibuk dituntut agar dibubarkan oleh penguasa.
’’Kalau HMI kalian tak bisa bubarkan, maka lebih kalian pulang saja dan tukar pakaian dan kenakan sarung,’’ begitu kata Aidit dalam pidato di depan para anggota partainya ketika menyerukan pembubaran Ormas HMI. Saat itu muncul juga agitasi Islamophobia: 'Waspadalah terhadap kaum sarungan!"
Kemudian terbit tulisan Bung Hatta di Majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka dengan judul ‘Demokrasi Kita’. Hatta secara terbuka mengkritik tindakan Sukarno yang berperilaku otoriter dan melanggar prinsip demokrasi serta prinsip negara hukum.
Kemudian apa yang ditempuh Masyumi melawan kesewenangan itu? Setelah keluarnya keputusan pembubaran tersebut, para tokohnya (termasuk tokoh PSI) banyak yang kemudian dijebloskan ke dalam penjara yang juga dilakukan tanpa pengadilan. Meski diberlakukan tak senonoh mereka tak melakukan gerakan gegabah, misalnya mengangkat senjata. Mereka memilih jalur hukum menggugat melalui pengadilan meski dengan risiko akan dikalahkan karena kasusnya terkait dengan soal politik.
Ini mereka buktikan, pada 9 September 1960 (beberapa pekan setelah terbitnya keputusan pembubaran), PP Masyumi secara resmi mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta. Tujuannya untuk membatalkan Keppres No. 200/1960 sebagai tindakan yang oleh Masyumi dianggap melawan hukum.”[Sabar Sitanggang, "Pembubaran Masyumi, PSI, dan HTI: Kisah Pilu di Hari Rabu", https://republika.co.id/berita/otf5cp385/pembubaran-masyumi-psi-dan-hti-kisah-pilu-di-hari-rabu (diakses pada: 25 Juli 2020, pukul 17.45).]
Jadi sejak pembubaran Partai Masyumi itu kekuatan politik umat Islam menjadi semakin melemah dan sering menjadi objek kekerasahan dari orang-orang yang sehaluan dengan komunis. Ulama-ulama dikriminalisasi. Kaum muslimin ketika itu sering kali menjadi objek Agitasi. Yaitu kondisi kejiwaan berupa perasaan marah dan gelisah yang dipicu oleh tekanan berupa kata-kata dan sikap yang menggangu dari kaum komunis.[KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/agitasi (diakses pada: 25 Juli 2020, pukul 18.00)]
Kekejaman Komunis di Taeh
Dua tahun pergolakan PRRI di tahun 1960, ketika itu saya masih berumur 8 tahun, belum lagi masuk sekolah. Saya tahu cerita ini di kemudian hari setelah saya agak dewasa, dapat cerita dari orang-orang tua.
Begini ceritanya; di dalam kampung (Taeh) ketika itu dikuasai oleh tentara Pusat dibantu oleh kelompok paramiliter OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat) yang kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang terlibat PKI di kemudian harinya. Pada umumnya mereka itu adalah orang-orang kita juga di sekitar Taeh.[Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1949 yang bertujuan untuk mengarahkan rakyat dalam membantu pemerintah memulihkan keamanan dalam negeri. Organisasi ini juga mirip dengan Hansip, atau bisa dibilang embrio Hansip.]
Orang-orang kampung yang sehaluan dengan Komunis ketika itu amat runcing tanduknya, mereka bergabung dengan tentara pusat dan OPR membasmi orang-orang yang mendukung tentara luar (PRRI).
Bahkan mereka orang-orang kampung ini lebih nampak kekejamannya daripada aparat, sampai ada yang membunuh orang, menciduk ulama, sampai-sampai ada pula yang menginjak-nginjak perut orang hamil hingga tewas. Diantara korbannya adalah Darusan Dt. Pobo, Nazar (Nasa Baliang), pak etek saya Marullah Pendek Dt. Bosa nan Panjang, Kani Ceropong, seorang istri polisi dan lain-lain sebagainya.
Tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi target ketika itu diantaranya adalah Buyuang Agus (pak BA) orang Masyumi yang kemudian bergabung dengan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) setelah Masyumi dibubarkan pemerintah, Datuak Ulak Nan Tuo toke ternak, bapak dari Mangkuto orang Masyumi. Namun anehnya tokoh-tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tidak mereka usik, abah saya Muhammad Syair tidak diganggu sama sekali, karena beliau adalah orang PERTI, dulu beliau kan sekolah di MTI Mungka.
Tersebutlah namanya Rasyid Tando, seorang anggota OPR berhaluan Komunis, ia berilmu banyak, ilmu hitam maksudnya, seperti ilmu kebal dan sebagainya, ia suka bertindak sewenang-wenang dengan orang yang tidak disukainya terlebih-lebih bagi orang-orang yang dianggapnya simpatisan partai Masyumi atau orang yang pro PRRI.
Ketika itu ia sempat bermain-main pisau hampir ditikamnya pak etek saya Narullah Pendek Dt. Bosa Nan Panjang seorang tokoh masyarakat yang berhaluan Masyumi, namun alhamdulillah tidak sampai kena. Marullah Pendek Dt. Bosa Nan Panjang waktu itu bukanlah seorang aktifis, sehari-hari kerjanya banyak duduk-duduk saja di pos ronda. Namun karena ia dianggap orang yang pro PRRI, karena itulah OPR sangat membencinya dan berniat akan menghabisinya.
Setelah kejadian itu abah saya Muhammad Syair memberi masukan kepada pak etek saya itu supaya ia bersedia pergi meninggalkan kampung halaman, namun hal itu tidak dilakukannya. Akhirnya berlanjut pada suatu malam ia dijemput paksa oleh beberapa orang gembong PKI anggota OPR. Konon-kabarnya ia berkelahi dengan OPR itu. Ia memang memiliki sedikit ilmu beladiri, namun kalah jumlah, babak-belur juga jadinya. Alhasil ia berhasil diikat dan ditahan di sebuah rumah penduduk di Koto Baru.
Seorang anaknya bernama Musriati sangat penurut dengan pak etek saya Marullah Pendek Dt. Bosa Nan Panjang ini. Ketika ia ditahan di Koto Baru, Musriati ini juga ikut bapaknya di tempat tahanan. Pak Etek ini berkata kepada anaknya Musriati “Nak.. bapak akan dijemput orang tidak lama lagi, bapak akan dibunuh orang, bapak akan meninggal lagi nak” katanya.
Beberapa hari di tahanan itu, datanglah orang-orang berbaju loreng malam hari menjemput pak Etek Saya Narullah ini, ia dibawa ke arah Limbonang. Lalu anaknya Musriati dititipkannya di rumah seorang teman akrabnya, namanya Jaranin ia adalah pedagang Emas. Kemudian Musriati dijemput ke rumah itu oleh Almarhumah Sili, ia adalah kakak perempuan seayah dengannya. Anaknya saksi hidup masih ada sampai sekarang yaitu ibuk Hj. Musriati yang tinggal di Dumai, dan As Koruk tinggal di Taeh.
Demikian juga dengan Darusan Dt. Pobo, mamak dari bapak Wirman Rusli, S.Pd guru olahraga di Pondok kita Maarif Assa’adiyah. Darusan Dt. Pobo itu adalah adik dari ibunya. Beliau seorang tokoh agama juga berhaluan politik Masyumi, ketika itu berumur sekitar 38 tahun. Pada suatu hari OPR melakukan penangkapan terhadap Darusan Dt. Pobo itu, juga Nazar (Nasa Baliang) ketika itu ia berumur 35 tahun, dan satu orang lagi adalah Kani Ceropong, ketika itu ia berumur sekitar 40 tahun.
Pak Nazar itu kelahiran tahun 1925 beliau digelari “Nasa Baliang” karena sebelah matanya yang sebelah kiri memang baliang, berputar hitam matanya itu ke belakang, alhasil yang putihnya saja yang nampak disebabkan kerasnya penderitaan siksaan yang ia terima dari orang-orang Komunis.
Alhamdulillah sekarang (tahun 2020) beliau masih hidup, telah berumur 95 tahun. Beliau selamat dari upaya pembunuhan itu. Sekarang beliau tinggal di kampuang Nan Onam di belakang pasar Jum’at Taeh, 300 m dari Pokan Jum’at Taeh.
Pak Nazar Berhasil Lolos dari maut
Kepada saya pak Nazar ini pernah menceritakan tentang kejadian itu.
Pada masa itu sekira hari Rabu malam setelah shalat Isya, datanglah beberapa orang anggota OPR yang juga berasal dar Taeh. Bersenjata lengkap ke rumah yang lamanya, tidak jauh dari kediamannya yang sekarang.
Dengan senjata dikokang mereka naik ke atas rumah pak Nazar. Pak Nazar waktu itu belum sampai di rumah. Maka diambilnya semua barang-barang berharga miliknya oleh OPR itu, termasuk cangkul juga. Tidak lama kemudian pak Nazar sampai di rumah sepulang dari masjid melaksanakan shalat Isya. Ia ditangkap, tangannya diikat, keluarganya lari ketakutan. Lalu ia dibawa ke Pos OPR di Pakan Jum’at Taeh, ia ditahan di situ.
Pada subuh hari Kamis itu, OPR juga menangkap Darusan Dt. Pobo di masjid setelah melaksanakan shalat Subuh. Ia juga diikat lalu dibawa ke Pos OPR. Di Pos itu sudah ada pak Nazar dan pak Kani Ceropong.
Kemudian sekitar pukul 2 siang, setelah Zuhur, mereka diikat setali tiga lalu dibawa ke Koto Baru. Tempatnya adalah di sebelah hilir Titian Kudo, lalu mereka ditahan di suatu tempat, sepertinya itu adalah Pos OPR. Di sana mereka diadu seperti ayam. Di suruh saling berkelahi, saling menyerang. Pak Nazar di suruh menyerang pak Kani.
Karena terpaksa, awalnya pak Nazar hanya lunak-lunak saja meninju pak Kani, namun kemudian seorang anggota OPR menyiksanya. “Bukan begitu caranya, kamu berdiri di sana, begini caranya, saya ajarkan kepada kamu” katanya. Lalu OPR itu sejadi-jadinya meninju, menampar, menendang pak Nazar. Pak Nazar melenguh-lenguh kesakitan sambil mempertautkan gigi dan mulutnya menahan pukulan.
Pak Nazar memang benar-benar kehilangan akal sehat jadinya, ia berhasil diperlakukan sebagai binatang. Ia bangkit, dengan ganasnya ia memukuli Kani Cemporong, namun pak Kani tidak membalasnya. OPR tadi kembali menyuruh pak Nazar berdiri tegap, lalu ia suruh pula pak Kani memukuli pak Nazar. Kani mengayunkan tendangan sekuat-kuatnya ke tubuh pak Nazar, namun Pak Nazar menghelak, gagal jadinya. OPR itu marah, mereka memukuli pak Nazar sejadi-jadinya.
Darusan Dt. Pobo tidak disuruh berkelahi, namun ia disiksa. Hampir dibunuhnya mereka bertiga oleh anggota OPR di tempat itu.
Pukul 11 malam, petang Kamis itu (besoknya hari Jum’at), OPR mengikat mereka bertali tiga, yang paling di depan adalah pak Nazar.
Seorang anggota OPR berkata “kalian akan dipindahkan ke rumah batu, rumah itu sangatlah rapatnya, nyamuk saja tidak bisa masuk ke dalamnya”. Tahanan yang beriga ini tentu merasa ngeri, mereka bisa memastikan yang dimaksud dengan rumah batu itu adalah kuburan untuk mereka. Sebentar lagi mereka akan dibunuh, riwayat mereka akan tamat malam tu juga. Mereka perbanyak berzikir berserah diri kepada Allah SWT., sehingga tiada lagi perasaan takut datang mendera.
Dalam posisi bertekuk lutut, tangan mereka diikat di belakang punggung dengan tali putih. Mereka itu sebetulnya akan dibawa ke Tobek Panjang (di belakang SPBU) Tobek Panjang sekarang itu, dulunya disitu dipersiapkan kuburan, masing-masing kuburan kosong itu sudah ada nama-nama orang calon penghuninya, termasuk mereka yang bertiga ini, juga akan dibunuh di kuburan mereka masing-masing, kemudian ditimbun dengan tanah.
Seorang OPR menyuruh berdiri. “Berdiri!” katanya. Disaat berdiri itulah, dengan reflek, pak Nazar memilin-milin pergelangan tangannya di belakang punggung, kemudian disentaknya dengan kuat, tali itu terasa licin, lepaslah ia dari ikatan. Dengan sekuat tenaga ia melompat lari, raib ke dalam kegelapan, hujan lebat menyembunyikannya sampai hilang. Darusan Dt. Pobo dan Kani Ceropong juga berusaha lari, namun naas mereka tertembak.
Pak Nazar dihujani pelor terus. Berdesing-desing peluru itu di telinganya. Untungnya dengan taqdir Allah sebatang anak kelapa membelanya dan menjadi tameng melindungi batok kepala pak Nazar itu.
Ia tidak berdiam lama disitu, sepertinya anak Kelapa itu mengisyaratkan supaya ia cepat pergi. Lalu pak Nazar melompat lagi ke dalam goresan bayangan kabur abu-abu, ia mengira itu adalah selokan anak air, rupanya tidak sama sekali, itu adalah jalan selebar setengah meter, dengan badan terhuyung ia terus berlari mengibaskan pasir jalanan mengikuti petunjuk ghaib yang belum tahu kemana arah hendak dituju.
Dengan senapan siap menembak, anggota OPR itu berlari kian kemari berpencar mengejar pak Nazar seperti orang berburu tikus seekor. Memang sungguh gelap ketika itu, ditambah lagi dengan hujan lebat. Pak Nazar masuk bersembunyi di dalam rawa setinggi tegak. Lintah, ular, Toduang, Kalo, Sipasan tidak ia takutkan lagi, ia renangi rawa itu pelan-pelan. Lama juga ia beristirahat bersandar di sebatang pohon Ambacang di dalam parak entah milik siapa. OPR tadi terus sibuk mencarinya.
Pak Nazar sempat singgah di Surau Ongku Linuh minta minum, kemudian ia pergi lagi. OPR itu juga sampai di Surau Ongku Linuh itu, ia bertanya kepada cucu Ongku Linuh. “Apakah ada orang tadi lari ke sini?”. “Iya benar, tadi ada orang lari kesini, ia lari ke hilir” jawabnya. Padahal Pak Nazar lari ke arah mudik.
Sampai ke Luak Godang di Lobuah Putuh, masih ada juga bertemu di situ dengan anggota OPR yang sedang melakukan pencarian. Pak Nazar menghindar ke halaman rumah mendiang pak Kahar, padahal ketika itu pak Kahar memiliki anjing penjaga rumah yang garang-garang, lepas pula, tidak diikat dengan tali. Namun ketika itu anjing-anjing itu tidak ada menyerang pak Nazar, hanya menyalak saja sedikit. Sesampai di Luak Punjuang lalu ia bangunkan pak In, ia beristirahat dulu di situ di dalam lobang perang di dekat rumahnya.
Pada siang harinya waktu itu hari Jum’at, pak Nazar sembunyi-sembunyi berangkat ke atas (Taeh Bukit) bergabung dengan orang luar (PRRI). Di Taeh Bukit itu ia bertemu dengan ibunya pak Wirman Rusli. Ibu pak Wirman itu adalah kakak dari Darusan Dt. Pobo yang ditangkap OPR itu. “Mana Pobo?” katanya. “Saya tidak tahu kak, semalam kami sudah berserak lari, saya tidak tahu kondisi Pobo dan Kani” jawab pak Nazar.
Beberapa puluh tahun kemudian abang se ibu dari bapak Wirman Rusli bernama Zubir yang manjawek Sako gelar sebagai Dt. Pobo, beliau memimpin ahli warisnya mencari kubur almarhum Darusan Dt. Pobo ini. Berdasarkan petunjuk seorang orang tua maka dilakukanlah penggalian di belakang SPBU Tabek Panjang, didapatlah di situ bekas tulang-belulangnya, singlet yang dulu beliau pakai, kemudian gigi timahnya. Lalu dipindahkanlah makam beliau ke lingkungan masjid Nurul Falah Taeh.
Zubir Dt. Pobo ini dulu pernah menjadi camat di pantai Cermin Solok, kemudian menjadi camat pula di guguak, Lima Puluh Kota. Setelah pensiun beliau mengajar beberapa tahun di Ponpes Ma’arif Assa’adiyah.
Bersamaan dengan penangkapan Darusan Dt. Pobo, Nasa Baliang dan pak Etek saya Marulah pendek Dt. Basa nan Panjang dan lain-lain itu, ada salah seorang anak muda yang umurnya mungkin seukuran SMA lah kira-kira waktu itu. namanya Jalius putra dari Naan Beloh. Ia juga ditangkap di masjid. Namun karena ia masih remaja diangkap belum berpihak ke mana-mana, lalu ia diselamatkan oleh tentara APRI, ia dibawa ke Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia dimasukkan ke Pusdik Brimob Polri. Diantara anaknya adalah Ir. Yosebrizal (Isep) seorang insinyur penyuluh pertanian Lima Puluh Kota yang tinggal di depan Ponpes Maarif Assaadiyah Batu Nan Limo itu.
Ada pula kejadian lucu. Ketika itu Abdul Hasim Ongku Boncah sedang menerangkan kaji sifat 20, tentara Pusat masuk ke dalam Suraunya menangkap beberapa orang laki-laki, mungkin termasuk Jalius itu barangkali. “Tabiak tuan, tabiak tuan” kata jama’ah ketakutan. Namun lain pula dengan seorang jama’ah, namanya ibu Darika. “Tembak tuan, tembak tuan”, katanya menggigil. Ketika tentara sudah pergi, Darika itu minta maaf kepada hadirin, ia keceplosan bicara salah sebut karena diselimuti rasa takut yang bersangatan.
Ada pula Ramis namanya, suku pagar Cancang di Taeh, suaminya seorang polisi tetapi lari keluar. Kebetulan Ramis ini sedang hamil. Ia diinjak-injak oleh tentara mungkin juga OPR, bernasib na’as hingga ia mati ketika itu juga bersama calon bayinya. Itulah kondisinya kekejaman OPR itu, tidak ada peri kemanusiaan.
Dulu kakak pak Wirman Rusli sampai lari ke Padang Sidempuan karena takut berada di dalam kampung di Taeh. Bila ia pulang ke rumah, dipakainyalah pakaian perempuan, baju kurung, seperti amak-amak saisuak untuk mengelabui tentara Pusat, hingga ia lolos sampai ke rumahnya di Simalanggang.
Tentara Pusat yang menguasai dalam negeri ketika itu sangat nampak kesombongannya, basecamp mereka adalah di depan Pokan Jum’at Taeh. Mereka menghalalkan semua yang ada di masyarakat, mereka ingin menguasai semuanya. Pernah mereka menembaki kolam ikan orang tua pak Wirman Rusli kemudian disuruhnya anak kecil mengumpulkan ikan yang sudah mati merapung karena makan timah panas itu lalu mereka masak.
Ibu pak Wirman Rusli dulu juga pernah ditangkap oleh OPR. Suatu kali ia pergi ke subarang menjujung Ketiding yang berisi rokok, kapak, dan barang-barang lainnya yang ditutup dengan nasi dan air minum, rencanya ketiding itu akan diantar ke subarang untuk sumandonya yang bergabung dengan PRRI di Taeh Bukit.
Lalu ia ditangkap oleh Djaradjani seorang OPR berhaluan PKI di Taeh. Istri Djaradjani itu namanya Nian ada tali persaudaraan dengan ibu pak Wirman, dia orang Taeh juga orang suku Pagar Cancang, Dt. Pobo juga Pengulunya.
Memang kejam-kejam mereka ketika itu, orang-orang PKI yang berada dalam OPR dan tentara Pusat itu mereka memang kejam. Selain itu ada juga pendukung-pendukungnya yang terdiri dari masyarakat biasa yang juga berhaluan komunis, mereka bengis dan sadis terhadap masyarakat.
Buya Harmaini Simarasok didatangi OPR
Ada pula cerita dari guru saya Buya H. Harmaini Simarasok, Baso, Agam tentang kekejaman OPR ini. Ketika itu di nagari Simarasok ada seorang tokoh masyarakat lari keluar, dengan kata lain ia bergabung bersama PRRI, sedangkan istrinya sangat cantik, masih tinggal di dalam kampung di rumahnya di Simarasok. Ada seorang komandan OPR Baso jatuh hati kepadanya dan ingin menikahinya.
Buya H. Harmaini ketika itu adalah Tuan Qhadi, tukang menikahkan orang. Suatu hari datanglah beberapa orang berseragam OPR ke rumah buya H. Harmaini. “Buya, saya disuruh oleh komandan untuk datang menemui buya.” katanya.
“Apa gerangan, apa berita dari komandan anda?” jawab buya H. Harmaini.
“Komandan minta kesediaan buya untuk menikahkan si-anu (wanita yang ditinggal suami tadi) dengan komandan”.
“Bagaimana pula bisa saya menikahkan dia dengan orang lain sedangkan ia masih berstatus bersuami, hal itu terlarang menurut Islam” tegas buya Harmaini.
“Baiklah buya, kalau buya tidak mau, ya saya akan laporkan kepada komandan saya, biar nanti komandan langsung yang membuat perhitungan dengan buya” kata anggota OPR itu menggebrak meja berbalik pulang.
Beberapa jam kemudian datanglah komandan OPR itu bersama anggotanya dengan senjata yang siap ditembakkan. Warga sekitar sudah tahu, mereka berasumsi bahwa buya H. Harmaini akan ditembak oleh OPR itu karena beliau menolak keinginannya.
“lari buya, lari buya” kata warga.
“Kemana saya harus melarikan diri, sedangkan ini adalah rumah saya, hidup dan mati saya adalah di sini” jawab buya H. Harmaini.
Prop.. prop.. prop.. bunyi sepatu OPR itu datang ke rumah buya H. Harmaini. Komandannya naik ke rumah sedangkan anggotanya berjaga di luar.
Dengan taqdir Allah SWT., ketika mulai masuk ke rumah buya, komandan OPR itu merangkak sampai ke hadapan buya H. Harmaini. Entah apa sebabnya, ia merangkak saja menghadap buya.
Komandan OPR itu mengutarakan maksud tujuannya meminta buya H. Harmaini supaya bersedia menikahkannya dengan si-anu itu.
“Bagaimana pula kamu akan menikah dengan orang yang masih bersuami, itu adalah dosa besar. Saya tidak bisa bertanggung jawab di dunia dan akhirat untuk hal ini” jawab buya H. Harmaini.
Kemudian komandan OPR itu minta ma’af kepada buya H. Harmaini dan mengurungkan niatnya untuk menikahi perempuan itu.
Kisah ini tidak asing lagi bagi masyarakat Simarasok, begitulah keyakinan seorang ulama menghadapi kondisi yang penuh tekanan.
Orang Tua Buya Akmul DS Korban PKI
Diantara sahabat saya ada pula tuanya yang menjadi korban keganasan PKI tersebut. Diantaranya adalah buya Akmul Djahar Sain. SpdI., Dt. Rajo Bagindo (Akmul DS). Beliau adalah tokoh masyarakat Lima Puluh Kota, sama-sama menjadi pengurus dengan saya di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Lima Puluh Kota dan juga pengurus Nahdatul Ulama Cabang Lima Puluh Kota sampai sekarang (th. 2020).
Buya Akmul DS menceritakan kepada saya bahwa orang tuanya adalah korban dari keganasan PKI. Ayahnya bernama Djahar Sain adalah korban pembunuhan oleh PKI pada tahun 1960 bersama 5 orang lainnya yaitu Rais. Dt Majo Indo, Burhan. Dt Mustafa, Khatib Ahmad dan Amir Daud di Situjuah Lima Puluh Kota.[Wawancara dengan Buya Akmul Djahar Sain. SpdI., Dt. Rajo Bagindo pada Selasa, 20 Oktober 2020 di sela-sela pelatihan dan workshop FKUB di Hotel Mangkuto Payakumbuh yang diselenggarakan oleh FKUB Prop. Sumatera Barat.]
G30S Gagal
Kalau kita baca sejarah, keadaan di pusat ketika itu, hingga kemudian hari PKI Menyiapkan Kudeta 30 September 1965. PKI menganggap TNI-AD dan kalangan nasionalis-religius seperti orang-orang berhaluan Masyumi sebagai penghambat agendanya untuk mewujudkan negara Komunis di Indonesia.
Aidit dan Biro Khusus PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan dengan beberapa skenario, diantaranya; ia gerakkan perwira-perwira menengah militer untuk melakukan pembersihan pimpinan puncak TNI-AD pada 30 September 1965. Sedangkan gerakan politik dilakukan dengan pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti pemerintahan yang sah setelah gerakan militer berhasil dilaksanakan. Persiapan dilakukan dengan rapat-rapat dan konsolidasi secara intensif baik pada tingkat Politbiro CC PKI, Biro Chusus Central (BCC) dan BCC dengan Biro Chusus Daerah (BCD).[ARS, "PKI Menyiapkan Kudeta 30 September 1965", https://g30s-pki.com/pki-menyiapkan-kudeta-30-september-1965/ (diakses pada: 30 Juli 2020, pukul 11.45)]
Menjelang Minggu pertama bulan September 1965, Baharuddin Hanafi (Biro Penghubung Sumbar) menerima panggilan telepon dari Jakarta. Sekembalinya ia dari Jakarta tanggal 15 September 1965, malamnya ia mengadakan rapat yang dihadiri oleh Djayusman dan Soeripno (masih anggota pimpinan Biro Chusus).[ARS, "Kudeta PKI Tahun 1965 di Luar Jakarta (9): Sumatera Barat dan Riau", https://g30s-pki.com/kudeta-pki-tahun-1965-di-luar-jakarta-9-sumatera-barat-dan-riau/ (diakses pada: 30 Juli 2020, pukul 12.00)]
Dalam rapat itu disampaikan informasi dan petunjuk bahwa; PKI Sumbar harus menyokong Gerakan Perwira Angkatan Darat yang melakukan Gerakan mendahului Dewan Jenderal. Begitu Gerakan di Jakarta dimulai, paling lambat hari keduanya daerah Sumbar harus sudah menyokongnya dengan cara:
- Mengadakan pengumuman menyokong dengan menarik golongan lain seluas- luasnya.
- Membentuk Dewan Revolusi yang komposisinya luas. Untuk ini supaya digerakkan kekuatan militer terutama untuk menguasai radio dan telekomunikasi serta mengusahakan semaksimal mungkin jangan terjadi pertumpahan darah.
- Membentuk Group Komando serta merencanakan sasaran yang diperlukan dalam gerakan menyokong Dewan Revolusi. Diusahakan agar Panglima bersikap netral.
- Group Komando akan memimpin gerakan dengan jumlah 5 orang terdiri atas 2 orang pimpinan Biro Chusus Daerah dan 3 orang dari militer. Group Komando dipimpin oleh orang pertama Biro Chusus Daerah.
- Sesudah Gerakan penyokong berhasil membentuk Dewan Revolusi di daerah-daerah tingkat I dan jaringan ke desa-desa, maka instruksi selanjutnya akan diberikan oleh Dewan Revolusi Pusat. Oleh karena itu supaya mendengarkan siaran RRI.
Dalam rangka merealisasi instruksi Biro Chusus tersebut, diadakan rapat untuk pembagian tugas menyebarkan informasi. Baharuddin Hanafi bertugas mengadakan kontak ke Padang dan Pariaman, Djayusman ke Agam, Tanah Datar, dan Lima puluh Kota, sedangkan Soeripno ke daerah Solok.
Dalam rapat tanggal 15 September di rumah Djayusman, Sumbar dibagi dalam 2 wilayah tempur yaitu Wilayah Tempur Barat dipimpin oleh Letkol Bainal, dan Wilayah Tempur Timur dipimpin oleh Kolonel Djayusman.
Pada tanggal 16 September 1965, diadakan pertemuan lagi untuk persiapan menyokong Dewan Revolusi di Sumbar. Hadir pada pertemuan itu Baharuddin Hanafi, Djajusman, Suripno, Letkol Sukirno (Dan Dodik X Padang), Letkol Bainal (Kas Mada Hansip Sumbar). Sebelumnya Djajusman sudah menghubungi Peltu Suhanto Ps Dan Ki Raider di Batusangkar dan Zainal Datuk Pancah, Petugas Biro Penghubung Sumbar untuk pada saatnya bisa mengerahkan pasukan ke Padang dalam rangka menyerang Yon 130 yang merupakan pendukung Dewan Jenderal. Selain itu, Djajusman menghubungi juga Letda CPM Atta Soedjana untuk menyelidiki keadaan RRI.
Pada rapat tersebut dibentuk pula Group Komando sesuai instruksi Biro Chusus Pusat, dengan susunan sebagai berikut:
- Baharuddin Hanafi
- Djajusman
- Letkol Sukirno
- Letkol Zainal
- Mayor Johan Rivai
Tugas dari Group Komando ini ialah memimpin gerakan militer. Kesatuan-kesatuan yang akan dikerahkan ialah:
- Yon 132 di Batusangkar (:t: 2 kompi)
- Raider di Batusangkar (1 kompi)
- Sukarelawan
Rencananya pasukan-pasukan tersebut akan menduduki:
- Kompi Raider menguasai Skodam III dan RRI Padang.
- 1 Kompi Yon 132 menguasai Kodim dan kantor Telkom.
- Sisa pasukan menutup jalan dari ke kompleks tersebut.
- Setelah kompleks dikuasai, suatu delegasi yang terdiri atas Kolonel Sumedi, Letkol Bainal, Letkol Sukirno, Mayor Djohan Rivai, dan diperkuat komandan-komandan Pasukan akan menghadap Panglima (Brigjen Panoedjoe) dengan maksud agar Panglima membantu Dewan Revolusi. Apabila ia menolak, harus diusahakan minimal bersikap pasif, demikian juga kepala stafnya (Kolonel Poniman).
- Pejabat lain seperti Pangdak, akan ditipu dengan pura-pura dipanggil Pangdam.
Sebagai persiapan dibuat tahapan rencana: - Rencana A: Bila di Jakarta telah dimulai gerakan, maka di Padang akan mengikuti gerakan itu yang dipimpin oleh Baharuddin Hanafi.
- Rencana B: Bila rencana gerakan di Padang gagal, maka di Bukittinggi dan Batusangkar akan dibentuk Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Djajusman dan Mayor Djohan Rivai dengan membawa pasukan Yon 132 dan Raider.
- Rencana C: Rencana pengunduran ke daerah Pasaman. Dalam rapat-rapat selanjutnya mulai tanggal 19 September sampai dengan menjelang akhir September 1965 dibicarakan persiapan-persiapan yang matang untuk kup di daerah Sumbar. Ketika pada tanggal 1 Oktober 1965 terdengar siaran RRI Pusat tentang pengumuman Dewan Revolusi dan pembentukannnya, maka Baharuddin Hanafi segera mengadakan rapat di rumah Suripno membahas tentang pelaksanaan G30S di Sumbar. Dalam pertemuan itu disepakati:
Tanggal 2 Oktober 1965 akan dicetuskan gerakan di Sumbar. Yang akan mengumumkan ditunjuk Kolonel Sumedi Dan Rem 031. Pembaca teks Kapten Tjakra Wadan Dodik X/Padang. Isinya adalah: Mendukung Dewan Revolusi. Pasukan yang digunakan adalah Yon 132, menunggu di Lubuk Alung, pukul 03.00. Akan tetapi pada pukul 20.00 tanggal 1 Oktober 1965 ada pengumuman dari Mayjen Soeharto, Pangkostrad. Isi pengumuman tersebut menyatakan bahwa Gerakan 30 September adalah suatu gerakan kontra revolusi dan situasi ibukota Negara telah dapat dikuasai kembali oleh alat-alat Negara.[Ibid]
Pidato tersebut telah memberi pengaruh luas, terutama bagi daerah-daerah yang akan melakukan gerakan menyokong Dewan Revolusi di Jakarta. Dengan demikian gerakan perebutan kekuasaan di Sumatera Barat tidak dapat dilaksanakan, walaupuan rapat-rapat persiapan untuk mendukungnya sudah disiapkan secara matang. Setelah dapat direbut, studio RRI Pusat Jakarta untuk sementara waktu ditempatkan di bawah pengawasan TNI-AD dan Staf Angkatan Bersenjata (SAB). Dengan demikian dua sarana komunikasi vital untuk menyelenggarakan komunikasi dengan daerah-dearah di wilayah tanah air telah dapat normal kembali. Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 20.10 Mayor Jenderal Soeharto berpidato melalui RRI yang disiarkan ke seluruh Indonesia mengumumkan bahwa:
“Pada tanggal 1 Oktober di Jakarta telah terjadi suatu peristiwa perebutan kekuasaan negara yang dilakukan oleh gerakan kontra revolusioner yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Mereka telah melakukan penculikan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yaitu: 1). Letnan Jenderal A. Yani, 2). Mayjen Suprapto, 3). Mayjen S. Parman, 4). Mayjen Haryono MT, 5). Brigjen DI. Pandjaitan, 6). Brigjen Sutojo Siswomihardjo. Gerakan 30 September memaksa dan menggunakan Studio RRI Jakarta dan Kantor Besar Telekomunikasi untuk aksi terornya. Paduka Yang Mulia Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, dan Yang Mulia Menko Hankam/ Kasab Jenderal Nasution dalam keadaan aman dan ada dalam keadaan sehat wal’afiat. Pimpinan AD untuk sementara dipegang oleh Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad. Situasi umum sudah dapat dikuasai kembali dan tindakan pengamanan sedang giat dilakukan. Kepada masyarakat ramai diserukan, agar tetap tenang dan terus melakukan tugasnya masing-masing sebagaimana biasa. Pimpinan AD menegaskan orang-orang “Gerakan 30 September” adalah kontra revolusioner. Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Kepolisian bertekad menumpasnya.
Pidato yang disiarkan ke seluruh Indonesia itu ternyata mempunyai pengaruh psikologis yang besar. Pada saat itu semua orang mulai mengetahui bahwa siaran-siaran yang dikeluarkan Untung adalah bagian dari percobaan perebutan kekuasaan yang gagal di Jakarta. Pidato ini meruntuhkan moril para pendukung pemberontakan itu di daerah-daerah.
Dengan itu golongan Nasionalis dan Agama yang semula dalam suasana takut, bangkit membantu dan mengadakan aksi-aksi. Perang plakat/pamflet berkobar seru antara golongan pendukung G 30 S/PKI di satu fihak dan golonga Nasionalis serta Agama di lain fihak.
Sampai siang hari tanggal 20 Oktober 1965, gerakan pembersihan terus dilakukan. Bersamaan dengan itu, terjadi aksi massal dari golongan Nasional dan Agama terhadap lawannya, berupa pembakaran-pembakaran beberapa gedung PKI, Baperki, sekolah-sekolah asing/RRC, gedung Gerwani dan beberapa pabrik rokok milik pendukung G 30 S/PKI. q
Pernyataan-pernyataan mengutuk “Gerakan 30 September” serta menuntut pembubaran parpol dan ormas yang terlibat makin mengalir. Tanggal 7 Oktober 1965, DPR-GR Sumatra Barat tanpa dihadiri oleh golongan PKI, telah mengadakan sidang kilat dengan keputusan antara lain mengutuk “G30S”. Spontanitas rakyat makin bertambah memuncak antara lain dengan pencabutan papan-papan nama PKI dan ormas-ormasnya serta penyebaran pamflet-pamflet yang isinya menuntut dibubarkannya PKI dan ormas-ormasnya.
Rencana Gerakan 30 September 1965 di Sumatra Barat dibuktikan dari hasil Mahmillub yang mengadili gembong G30S/PKI Johan Rifai, eks Bupati Pasaman yang mengungkapkan semua rencana PKI untuk mengadakan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah di Sumatra Barat.[ARS, "Penumpasan Gerakan 30 September 1965 /PKI ", https://g30s-pki.com/penumpasan-gerakan-30-september1965-pki-3-daerah-lain/(diakses pada: 30 Juli 2020, pukul 13.20)]
Penumpasan PKI
Kalau kita cermati di buku sejarah “semua rencana PKI dapat digagalkan, pusat gerakannya di Jakarta dapat dihancurkan dalam waktu singkat, sehingga yang di daerahpun ikut berantakan. Faktor lain yang menyebabkan kegagalannya adalah kurangnya pengaruh PKI terhadap masyarakat Minangkabau dan sikap tegas Pemerintah dan ABRI untuk menumpasnya. Kekuatan pokok mereka hanya terdiri atas unsur pimpinan orang-orang PKI belaka, mereka tidak mempunyai pasukan.
Pada tanggal 25 Oktober 1965, Pangdam III/17 Agustus yang wilayah kekuasaannya meliputi propinsi Sumatra Barat dan propinsi Riau melaporkan kebijaksanaannya dalam menumpas G30S/PKI kepada Pangkostrad, ia menyebutkan; “Orpol ormas termasuk ninik mamak mengutuk perbuatan G30S/PKI, dan menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Pimpinan PKI Sumatera Barat sejak tanggal 1 Oktober 1965 menyatakan membubarkan diri.[Ibid]
Keadaan demikian membuat orang-orang yang sehaluan dengan komunis semakin khawatir, mereka mulai mawas diri, takut akan terjadi hal-hal menakutkan sebagaimana yang telah mereka lakukan dulu pada tahun 1960-1961 terhadap keluarga yang terlibat PRRI.
Pembalasan
Orang-orang berhaluan Komunis yang dulu melakukan kekejaman di Taeh menjadi perhatian masyarakat. Orang-orang yang dulu berjuang bersama PRRI bergerilya di hutan-hutan sekarang mereka sudah kembali pulang, keluarga mereka banyak yang menjadi korban dari orang-orang Komunis itu.
Sehingga si-Jilik seorang gembong PKI mati juga jadinya. Ia dijemput orang tengah malam, diikat dibuang ke sungai Batang Senama. Sudah bengkak-bengkak badannya merapung di dalam air sungai, tidak ada diperdulikan orang. Jikalau mayatnya tersangkut, lalu digeser lagi ke tengah, dihanyutkan lagi oleh orang.
Sarpolo satu lagi, dia komandannya PKI di Taeh, dia orang biasa saja yang dekat dengan tentara pusat. Sarpolo itu tamat kelas 7 di MTI Surau Baru Mungka, tetapi kemudian ia berpaling ke PKI. Sebagian kitab-kitab yang dimiliki Sarpolo itu pernah saya pakai dulunya untuk belajar di MTI Surau Baru Mungka. Sarpolo ini tidak dibunuh orang, ia mati sampai ajal, namun sudah banyak mendapat pemeriksaan dari pemerintah dan mendapat tekanan moril dari masyarakat. Dulu memang pernah juga ia ditangkap masyarakat, ia lari ke loteng sebuah rumah Godang, dia membawa Piarik (semacam tombak) sebagai senjata. Ada orang yang ingin membakar rumah itu, namun tidak jadi.
Ada pula Hatta namanya waktu itu dia kelas 6 SD, dia lebih tua dari saya, bapaknya bernama Buyuang dibunuh oleh seorang gembong PKI waktu pembebasan Taeh Bukit. Buyuang itu ditangkapnya di sebuah rumah Godang (rumah adat Minang) tiang 16, yang terletak di bawah Lobuah Basilang Taeh Bukit. Kira-kira 50 m di bawah lobuah itu ada rumah godang, sekarang rumah Godang itu masih ada.
Pada masa penumpasan PKI, orang yang membunuh bapaknya Hatta ini dijemput malam oleh masyarakat, ia diikat dan disiksa. Lalu dijemputlah Hatta ini oleh tim pengganyangan PKI yang dipimpin oleh dua tokoh Masyumi yaitu Alm. Wali BA dan alm. Kamaruddin Tahe (Buyuang Palin), ia pernah menjadi anggota DPRD di zaman Ordebaru.
Lalu dikatakan kepada Hatta itu “inilah dia orang yang membunuh bapak kamu dulu, ini pisau bunuh pula lah dia” kata orang-orang disitu memanas-manasi Hatta. Naik Pitam Hatta ini jadinya, ikut pula dia membunuh orang tersebut bersama tokoh-tokoh penggayang itu yang bertempat di Padang Sabolah dekat Kandang Batu, yaitu antara Parik Dalam dan Koto Tangah Simalanggang.
Dulu pernah saya mendengar kesaksian dari seorang yang terlibat PKI di Taeh, Djaradjani namanya, sekarang ia telah meninggal. "Ongok ambo olah ongok balobiah karano ambo dulu lopeh dari ancaman pembunuhan dari orang yang anti PKI di Simun menjelang ka Maek” katanya.
Djaradjani menceritakan “waktu itu tengah malam, kami diikat ditali-talikan antara satu sama lainnya, lalu kami dimasukkan ke dalam lobang tetapi nasib saya baik, saya masih ditaqdirkan hidup. Saya angsur membuka ikatan itu, akhirnya saya lepas. dan saya lari ke Sipingai, maka terlepaslah saya dari ancaman pembunuhan itu kata Djaradjani langsung kepada saya. Konon kabarnya orang-orang PKI itu ditangkap banyak-banyak, digali lobang, pada malam hari mereka dimasukkan ke situ, disiram dengan senjata, kabarnya mereka itu akan dibunuh semuanya.
Rumah istri Djaradjani itu adalah di Dalam Koto Taeh Baruah, salah satu anaknya sudah meninggal pula sesudah orang haji pulang tahun 2019 yang lalu.
Kemudian ada lagi, Imam Dorouh (Abdur Rauf) adik kandung dari Toeloes. Toeloes ini adalah mantan bupati Rengat, ayah dari penyair Chairil Anwar. Jadi Imam Dorouh ini adalah pak etek dari Chairil Anwar. Imam Dorouh ini dulunya mengurus sebuah surau kaum di Parik Dalam Taeh Baruah. Di surau itulah Chairil Anwar pernah mengaji menimba ilmu Agama Islam dan di halaman surau itu pula Chairil Anwar pernah menulis salah satu puisinya. Imam dorouh itu kan Datuak Palo (wali nagari) semasa itu, ia agak kejam.
Ketika penumpasan PKI, datanglah Jalinus Marzuki mencari pak Nazar (Nasa Baliang), diutusnya Siri Jamin menjemputnya. “Pak..! ke Padang Parik Panjang lah…! Ada Lawuak datang” kata guru Jalinus Marzuki, beliau adalah ayah kandung dari H. Ermizal, SE anggota DPRD dari fraksi PPP Lima Puluh Kota periode 2019-2024.
Maka datanglah pak Nazar ke kantor balai adat Taeh Baruah atau kantor wali nagari ketika itu. Sampai di Lobuah, “ado lawuak tibo itu dia di atas balai” kata Siri Jamin. Kemudian pak Nazar naik, maka nampaklah oleh dia Imam Do Roauh ini sedang duduk.” Langsung ia menyapa “Tu lai pulang Ongku” panggilnya kepada pak Nazar. Imam Dorouh memanggil “Ongku” kepada pak Nazar karena ketakutan.
Karena emosi, Pak Nazar panggil “Ang” saja kepadanya, “Ang Datuak Palo dulu kan, lai indo garang ang kini lai kan?” katanya. Pak Nazar mengambil kursi, langsung ia pukul Imam Dorouh itu sampai kursinya patah-patah. “ampun.. ampun.. “ katanya. “Sudahlah sudahlah kata guru Jalinus Marzuki itu, jangan dibunuh, jangan dibunuh..” katanya.
Jadi begitulah kejadiannya, mungkin ini pembalasan jadinya kan, tangan mancancang, bahu mamikua. Korban kedua belah pihak banyak, korban PKI, korban Masyumi, mirip-mirip jugalah situasinya dengan zaman sekarang ini (tahun 2020).
Pada rapat BKsPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia) wilayah Sumatera Barat pada Senin, 29 Juni 2020 di Diniyah Putri Padang Panjang disepakati untuk memberi pemahaman kepada masyarakat pesantren tentang bahaya laten New Komunisme ini.
---------------------------------------------------------------
Riwayat Hidup H. Sudirman Syair Bag. 5
-------------------------------------------------------
0 Komentar