Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Rois Syuriah PCNU Limapuluh Kota: Penetapan Hukum, Setelah Nas Berdialog dengan Realitas

K.H Sudirman Syair, D.Sp
Rois Syuriah PCNU Limapuluh Kota

Batu Nan Limo, Ma'arif Assa'adiyah - Rois Syuriah PCNU Limapuluh Kota KH. Sudirman Syair, D.Sp Dt. Samulo Nan Balopiah menegaskan bahwa dalam menetapkan suatu hukum, Nahdlatul Ulama (NU) selalu mendialogkan nash dengan realitas. Demikian dikatakannya kepada awak media saat dikunjungi di kediamannya di komplek Ponpes Ma'arif Assa'adiyah Batu Nan Limo nagari Koto Tangah Simalanggang kecamatan Payakumbuh, kabupaten Limapuluh Kota pada Selasa (13/8/2024).

Hal itu disampaikannya meneruskan pernyataan wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, Ahad (11/8) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh. 

KH. Sudirman Syair adalah salah seorang peserta pada acara tersebut mewakili Ponpes Ma'arif Assa'adiyah Batu Nan Limo. Hadir ketika itu dari kabupaten Limapuluh Kota pengurus Tanfidziyah dan Syuriah. 

Lebih lanjut KH. Sudirman Syair menerangkan tentang menetapkan hukum dengan mendialogkan nash dengan realitas ini, katanya praktek ini dapat ditemukan saat Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berlanjut di era para Sahabat dan tabiin, sehingga jadi pijakan NU dalam bertistinbath ketika menetapkan hukum. Penetapan hukum di dalam Nahdlatul Ulama didasarkan pada dua hal, yakni nash dan realitas atau teks dengan konteks.

"Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji," katanya mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.

Oleh karena itu dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Quran dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya. NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.

"Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya," katanya. 

Ia mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, misalnya, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting. Menurutnya, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.

KH. Sudirman Syair menambah, jadi garis besarnya seminar itu adalah bertema tentang Bahstul masail yang berkenaan dengan penetapan awal bulan Hijriyah dan banyak yang lain sebagainya, tetapi yang jelas untuk menampakkan persatuan dan kesatuan orang-orang Ahlussunnah wal jama'ah melalui Jam'iyyah Nahdatul Ulama.

Yang perlu kita ketahui bahwa Nahdatul Ulama dengan Pemerintah terutama NU dengan Kemenag adalah ibarat satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam melaksanakan gerakan dakwah dan keumatan.

Pesan saya kepada Nahdiyyin terutama yang ada di Limapuluh Kota "Nampakkanlah kepada masyarakat bahwa Ahlussunnah Wal Jama'ah itu di dalam bidang hal-hal yang dilazimkan untuk memasyarakatkannya seperti Tariqat Naqsabandi, Tariqat Mu'tabarah, kemudian peningkatan pembelajaran Kitabutturasy melalui pondok-pondok pesantren yang ada."

Kemaren yang hadir pada acara tersebut, bersama kami (H. Sudirman Syair) adalah Katib Syuriah PCNU Limapuluh Kota Memen Efendi, S.Pd.I, M.Pd, ketua Tanfidziyah PCNU Kab. Limapuluh Kota H. Nur Akmal, SH.I, Dt. Paduko Tan Kayo, sekretaris PCNU Limapuluh Kota Nurmasdi, S.Ag, kemudian nampak juga hadir buya Akmal Hadi pimpinan pondok pesantren Ashabul Yamin, Lasi, kecamatan Canduang, kabupaten Agam, kemudian Tengku Darmis pimpinan Ponpes di dekat Bandara Ketaping, Padang. Ada juga dari Ponpes Dharmasraya, Saudara Erigusnedi, Tan Gusli atas nama PWNU Sumbar bersama Ketua Tanfidziyah PWNU Sumatera Barat Prof. Ganefri, dan lain sebagainya.

Sebagaimana dilansir dari kemenag.go.id disebutkan bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kementerian Agama RI bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry menggelar seminar bertajuk "Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail Penetapan Awal Bulan Hijriah" di Banda Aceh pada Ahad (11/8/2024). 

Hadir pada acara itu sekitar 300 ulama, cendekiawan, serta akademisi yang terdiri dari wakil Ketua Umum PBNU, KH Zulfa Mustofa, sebagai pembicara kunci. Narasumber lain yang turut hadir antara lain KH Muhammad Cholil Nafis, PhD (Rais PBNU) dan Prof Dr Muhibbuthabary, MAg (Dosen UIN Ar-Raniry). Selain itu, Bahtsul Masail Diniyyah terkait penetapan awal bulan Hijriah dipimpin oleh KH Najib Bukhaori, MA (LBM PBNU) dan Dr KH Shofiyulloh (LF PBNU).

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Umum PBNU, KH Zulfa Mustofa, menjelaskan peran penting ulama dalam proses istinbath hukum di Indonesia. Menurutnya, ulama menjadi pilar utama dalam pengambilan keputusan hukum, termasuk di lingkungan Nahdlatul Ulama.

"Keputusan-keputusan yang diambil sering kali didasarkan pada dalil-dalil yang kuat dan melalui proses yang melibatkan pakar serta ilmuwan," ujar Kiai Zulfa, sapaan akrabnya.

Ia menambahkan bahwa selain berpegang pada Alquran dan Hadis, proses istinbath hukum juga mempertimbangkan konteks sosial masyarakat setempat.

Sebagai contoh, dalam menetapkan hukum terkait kepiting, dibutuhkan pemahaman mendalam tentang biologi dan ilmu pengetahuan lain. Begitu juga dengan isu-isu kedokteran, seperti hukum mendonasikan organ tubuh untuk pendidikan, yang memerlukan penguasaan komprehensif.

Zulfa menegaskan pentingnya ulama untuk memahami nas (Quran dan Hadis) serta realitas sosial di masyarakat, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Khulafa Al-Rasyidin. "Pemahaman holistik ini kunci dalam menerapkan hukum yang adil dan relevan," ujarnya.

Turut hadir perwakilan dari PWNU Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan PCNU di berbagai provinsi di wilayah tersebut. (Humas)


Posting Komentar

0 Komentar